Sebenarnya Mana yang Lebih Sering Menjadi Penghancur Harapan di Lingkungan Budaya Maskulin? Realita atau "Orang Terdekat"?

"Kamu tuh anak perempuan bukannya cuci piring dan ngerjain kerjaan rumah, apa gunanya saya punya anak perempuan?"

"Anak perempuan tak perlu merantau dan mencari ilmu sampai jauh, beda lagi kau punya saudara laki-laki. Itu seharusnya begitu."

"Maaf persyaratan utama untuk mengikuti ini adalah laki-laki." Tentu saja dengan "karena kami anggap laki-laki lebih mampu menjalankan dan melakukan hal ini" yang terselip secara laten.

Peringatan awal: tulisan ini sebagian besar hanya akan berisi keluhan dari apa yang terjadi pada penulis.


Menjadi anak perempuan yang hidup di tengah masyarakat menjunjung tinggi budaya maskulin sangat sulit, setidaknya itu menurut saya. Hampir semua kegiatan yang berlabel "pekerjaan rumah" akan dibebankan pada mereka perempuan. Tentu saja, lagi-lagi saya merasa terkadang sangat dirugikan terlahir dengan jenis kelamin ini.

Tak hanya itu, masyarakat yang menjunjung tinggi budaya maskulin membuat keterbatasan yang dimiliki perempuan tumbuh dengan makin subur. Bagaimana tidak? Jika pembaca budiman sekalian berkenan mencari data mengenai jumlah calon legislatif perempuan yang berani bertarung di kancah politik, temuannya akan sekitar penurunan jumlah mereka saat pesta demokrasi 2019. Pada realitanya memang perempuan "dibatasi" dalam banyak hal, kebetulan salah satunya adalah politik.

Selanjutnya, bahkan dalam kesempatan untuk mendapat ilmu. Tak jarang perempuan yang berkeinginan untuk mengenyam pendidikan di bidang yang masyarakat anggap "hanya untuk laki-laki". Namun pada akhirnya realita yang terlahir dalam "persyaratan" tak jarang membuat para perempuan ini wajib menghapus keinginan mereka. Jelas wajib, tak ada celah atau jalan apa pun itu untuk mewujudkan keinginannya.

Jangan lupakan peran orang terdekat dalam keputusan harus mengubur impian, meski realita memliki peran yang cukup besar. Anggapan dan kekhawatiran mereka yang tak beralasan memiliki peran yang sangat besar. Bagaimana sebenarnya orang-orang terdekat ini menjalan fungsinya sebagai penghancur haapan itu sendiri? Tentu saja dengan tidak memberikan kepercayaan yang cukup dan memilih untuk lebih meyakini celotehan pihak yang bahkan tak sepenuhnya mengenal pribadi kita.

Luar biasa, bukan? Namun tetap saja, bagi orang seperti saya yang terperangkap dalam lingkungan seperti ini tak dapat melakukan banyak hal berarti dan berdampak besar. Tak jarang orang yang mendengar hal serupa dengan tulisan ini bereaksi, "udahlah terima aja, jangan kebanyakan ngeluh". Sekali lagi, ya begitulah keyakinan terbesar masyarakat sekitar saya ini, selalu ingin dimengerti tanpa berkeinginan mengerti terlebih dahulu. Hanya ingin didengar tanpa mau mendengar terlebih dahulu. Sulit? Jangan disuarakan secara gamblang, tak semua ingin kau punya mental tetap baik-baik saja.

Comments

Popular posts from this blog

Daripada Demo Sana-Sini

Estetis Kudu Grainy?

Palsu? Yang Penting Murah!